Social Icons

Featured Posts

Tuesday, August 15, 2023

Apa Yang Terjadi Hari Ini?

Apa benar kamu suka memanggil si A dengan nama ..... (perempuan)

Saya mengkonfirmasi ke siswa B yang dari informasi siswa A, si B suka manggil A dengan nama perempuan. Kedua siswa ini laki-laki.

B : Iya Bu, dulu kata Bu Guru C, kalau A nakal, panggil aja dengan nama perempuan. 

Seketika saya berhenti berbicara karena shock mendengar jawaban polos itu. Saya tidak menyangka jawaban itu yang akan keluar dari mulut kecilnya.

A dan B adalah siswa kelas rendah. Yang secara psikologis menurut teori Piaget masih dalam masa peralihan dari tahap praoperasional konkret dan tahap operasional konkret, yang sudah bisa menggunakan pemikiran logis, tapi hanya bisa menerapkan logika pada objek fisik. Jadi masih belum bisa berpikir abstrak. Bagi mereka, apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar adalah kebenaran.

Maka saat di sekolah, perkataan guru adalah kebenaran yang valid dan harus di ikuti oleh mereka. Mereka tidak berpikir panjang untuk memproses perkataan orang yang paling mereka percayai di kelas.

Jelas saja ketika si A mulai bertingkah, maka B akan memanggilnya dengan nama perempuan. Sesuai dengan apa guru C bilang dan B berbuat seperti itu karena mengikuti perkataan gurunya. 

Orangtua yang punya anak usia sekolah dasar, pasti pernah mengalami si anak yang lebih percaya dan nurut dengan perkataan gurunya daripada orangtuanya. Guru adalah sosok luar biasa bagi anak usia sekolah dasar. Perkataan dari guru lebih ampuh dari perkataan orangtua. Ini nyata karena saya mengalaminya, ketika anak lebih percaya apa yang dikatakan gurunya di sekolah. Padahal perkataan itu sudah pernah saya sampaikan ke anak jauh sebelum gurunya mengatakan. Ya begitulah... karena anak menemukan sosok baru di sekolah, di luar keluarga intinya di rumah.

Maka ketika mendengar penjelasan dari siswa B, saya benar-benar kaget. 
Mungkin terlihat sederhana, tapi sungguh ini tidak sederhana dan tidak bisa dibenarkan. 
Bagi si B, dia melakukan apa yang guru C sampaikan tanpa tahu bahwa sebenarnya itu hal yang salah. Dan bagi si A ternyata hal tersebut berdampak luar biasa. Si A menumpuk emosi dan merasa terintimidasi. Lalu apa yang terjadi? Si A begitu benci dengan si B, sehingga meskipun si B tidak melakukan apa-apa, hanya dengan melihat si B, bisa membuat si A emosi dan melampiaskannya dengan semakin berbuat jahil dan mengganggu.

Dan hari ini si A melampiaskan emosinya dengan menendang si B. Tentu saja secara langsung si A yang disalahkan dan kembali mendapat label anak nakal.

Setelah saya urai, jawaban di awal tulisan ini lah pemicunya.

Mungkin saat mengatakan hal itu guru C hanya berniat untuk bisa menghentikan kejahilan si A. Namun diterima mentah-mentah oleh si B dan secara tidak langsung mengajari siswa untuk membully temannya secara verbal.

Mungkin si guru lupa, bahwa bully secara verbal ini akibatnya dahsyat dan bisa menciderai harga diri siswa, yang lebih jauh bisa menyebabkan depresi bahkan bunuh diri. Verbal bullying bisa dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar. Dan yang tidak sadar inilah yang sungguh berbahaya, karena pelaku tidak merasa melakukannya dan tidak merasa bersalah.

Disini saya tidak sedang menyalahkan si guru, hanya saja saya kecewa sebagai sesama pendidik. Sebagai pendidik tugas kita adalah menuntun bukan menuntut. Menuntun siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak baik menjadi baik, bukan mentuntut siswa harus tahu, harus bisa dan harus selalu menjadi baik. Berat memang tugasnya, terlebih dengan siswa dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi yang berbeda.



Disini saya hanya berusaha merangkul siswa dan memberikan bimbingan. Saya mencoba membantu mengurai emosi si A yang tertimbun selama ini dan mengajarkan regulasi diri saat sedang marah, agar tidak dilampiaskan ke teman-temannya. Butuh proses, tapi saya yakin si A bisa melakukannya dan akan terus saya pantau untuk selanjutnya.  Dan saya pun berusaha menasehati si B, bahwa tidak baik melakukan itu (memanggil dengan nama perempuan) kepada teman, karena setiap nama yang diberikan ke anak oleh orangtuanya mengandung doa dan kebaikan. Si B masih tampak kebingungan dan beberapa kali membela diri, karena dia merasa tidak bersalah melakukan itu. Dan ini saya benar-benar memahaminya.

Apa yang terjadi hari ini di sekolah benar-benar saya jadikan sebagai refleksi diri. Sebagai pendidik, kita harus bijak dalam bertutur, bertingkah, stop melabeli siswa dengan label negatif dan stop bullying. 


.
.
.
.
Kota Magelang, 15 Agustus 2023
Dwi Laelasari



Tuesday, June 13, 2023

Jangan Anggap Remeh Bullying

Oleh : Dwi Laelasari

bullying

"Cucuku di sekolah dibully, celananya diplorotin temannya, sekarang anaknya tidak mau sekolah" tutur seorang nenek kepada para tetangganya yang sedang berkumpul.

"Walah Mbah, kan sudah biasa to kaya gitu, namanya juga anak-anak, paling ya bercanda. Dulu jaman kita kecil kan biasa bercanda seperti itu" komentar salah seorang tetangga merespon penuturan sang nenek.

---

Situasi diatas nyata terjadi dan memang masih banyak orang disekitar kita yang menganggap lumrah atas suatu tindakan yang sebenarnya mengarah kepada bullying dan menganggapnya hanya sekedar bercanda.

Bagaimana pendapat Ayah Bunda tentang situasi di atas?

Sebenarnya apa sih bullying itu?

Kita mulai dari segi istilah, Bullying (dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “penindasan/risak”) merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus. (kemenpppa.go.id)

Bagaimana bentuk-bentuk bullying?

Eka Wardana seorang penulis dan pemerhati anak dalam kulwap tentang bullying menyebutkan ada beberapa macam bentuk bullying yaitu :

  1. Bullying fisik. Bullying yang dilakukan secara dan terhadap fisik. Contohnya adalah menendang, memukul, mendorong dan lain-lain.
  2. Bullying verbal. Bullying yang dilakukan secara verbal seperti menghina, menuduh, mengejek, menggosipkan seseorang dan lain-lain.
  3. Bullying Non verbal / sosial. Bullying yang dilakukan melalui hubungan sosial seperti mengucilkan, memandang sinis, mengirimkan surat ancaman dan lain-lain.
  4. Bullying Siber. Bullying yang dilakukan di media sosial, seperti menjelekkan melalui postingan, merekam dan menyebarkan video buruk dan lain-lain.
Baik jaman dulu maupun sekarang, semua hal yang mengarah pada menyakiti orang lain termasuk bullying. Hanya saja zaman dulu informasi tentang bullying masih sangat terbatas, tidak seperti sekarang yang sudah banyak informasi bahkan edukasi tentang bullying.

Apakah bullying  berbahaya?

Tentu saja, bullying sangat berbahaya. Tidak hanya bagi korban, melainkan juga bagi pelaku dan bahkan saksi (yang melihat pembullyian). 

Menurut Eka Wardana, tindakan bullying sangat berbahaya dan memunculkan multiple efek yaitu:

  1. Efek pada korban bullyingbiasanya korban akan mengalami depresi dan kecemasan, perasaan kesepian dan sendirian, terganggunya pola tidur dan pola makan, kehilangan minat pada kegiatan yang biasanya disukai, keluhan kesehatan, penurunan prestasi akademis dan efek ini bisa berlanjut hingga masa dewasa.
  2. Efek pada pelaku bullying, Pelaku bullying beresiko menjadi pecandu (alkohol atau narkoba) di masa depan, sering terlibat perkelahian, drop out dari sekolah, cenderung bersikap kasar, bertindak kriminal dan pergaulan bebas.
  3. Efek pada saksi bullying, Saksi cenderung menjadi perokok atau pecandu (alkohol atau narkoba) di masa depan, mengalami penurunan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan dan cenderung putus sekolah.

Bullying tidak hanya terjadi pada anak-anak yang lemah tapi bisa terjadi pada anak-anak yang populer bahkan juara kelas. Maka kita harus selalu waspada dan menyiapkan anak-anak agar tidak menjadi korban, pelaku maupun saksi pembullyian.

Bagaimana cara agar tidak terjadi bullying di sekitar kita?

  1. Tanamkan nilai agama dan moral (akhlak). Agama menjadi landasan utama dalam kehidupan. Kuatkan mental anak dengan keyakinannya pada Allah SWT, bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dan Maha Kuat kecuali Allah. Tanamkan nilai moral / akhlak dengan membacakan kisah Rasulullah , kisah orang-orang besar yang bisa anak teladani. Sehingga didalam diri anak sudah terbentuk mental dengan landasan keimanan. 
  2. Bangun komunikasi positif dengan anak. Komunikasi positif antara orangtua dan anak sangat penting untuk membangun rasa percaya diri. Biasakan ngobrol bareng dengan anak tentang segala hal, terlebih saat anak sudah sekolah, maka sangat penting orangtua mengetahui apa yang dirasakan dan dialami anak selama di sekolah. Saat anak terbuka dengan orangtua, maka anak bisa mengutarakan apapun yang dia alami, sehingga tidak melampiaskannya ke orang lain. Dan ketika ada tanda-tanda yang mengarah kepada bullying , orangtua bisa segera mengantisipasinya.
  3. Ajarkan anak untuk menyelesaikan masalah dengan damai, bukan dengan kekerasan. Berbekal komunikasi positif dengan anak, ajaklah anak untuk sering berdiskusi dan belajar menyelesaikan masalah, misalnya dengan bermain project problem solving. Bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan damai, tanpa kekerasan. Apabila anak mendapati tanda-tanda tindakan bullying , maka anak akan bisa lebih tenang dan bisa melakukan pencegahan sebelum terjadinya bullying.
  4. Kuatkan fisik anak deangan ajak berolahraga. Anak yang kuat secara fisik akan lebih percaya diri dan bisa melawan apabila menghadapi ancaman bullying.
  5. Ciptakan budaya aman. Dimanapun dan kapanpun selalu ciptakan budaya aman dan bisa dibuat peraturan atau hukuman saat ada pelanggaran.
Bullying menjadi PR bersama kita semua, baik orangtua, sekolah maupun masyarakat punya tanggungjawab untuk mencegah bullying. Edukasi tentang bullying dan bahayanya harus benar-benar digalakkan agar tidak ada lagi yang menganggap remeh bullying. Agar tidak ada lagi yang berkomentar "itu kan cuma bercanda" atas segala jenis tindakan bullying.

Jangan sekali-kali menganggap remeh bullying, karena sungguh efek dan dampaknya tidak remeh.

Monday, June 12, 2023

Tidak Apa-apa Tidak Tahu Apa-apa

"Hal yang menakutkan itu bukan menghadapi apa yang tidak kamu ketahui sama sekali, tapi saat ada kesombongan atas hal yang sebenarnya belum tahu, namun kamu merasa paling tahu" 
Mark Twain

Pesan untuk Anak-Anakku

  • Nak, tidak apa-apa saat kamu tidak tahu, saat kamu tidak bisa, kamu bisa belajar. Itu bukan hal yang menakutkan.
  • Tidak apa-apa, ketika saat ini kamu pusing belajar matematika, kamu sulit memahami suatu rumus atau bahkan tidak bisa mengerjakan soal, kamu bisa mempelajarinya perlahan. Tidak perlu berlari apalagi berkompetisi, karena masing-masing punya garis start yang berbeda. Masing-masing punya cara yang berbeda.
  • Burung berkaki pendek tidak akan bisa menyamai langkah kaki burung bangau. Namun burung itu bisa mencapai ditujuan yang sama dengan burung bangau, meskipun di waktu dan dengan cara yang berbeda.
  • Begitu juga kamu, jika saat ini merasa tertinggal, belum bisa menyamakan langkah dengan temanmu, tidak apa-apa. Yang penting kamu mau berusaha, kamu mau mencari jalan dengan caramu dan versimu sendiri.
  • Proses belajar, proses kamu mencari tahu cara, mencari jalan akan membawamu pada satu pemikiran. Bahwa berawal dari tidak tahu, tidak bisa dan tertinggal, kamu jadi belajar banyak hal. Yang mungkin tidak dipelajari oleh teman yang sudah mendahuluimu sampai tujuan.
  • Dari ketidaktahuan akan menjadikanmu haus akan ilmu, penasaran akan hal-hal baru, memacu adrenalinmu untuk berusaha keras mencapai tujuanmu.
  • Tetap positif thinking, positif feeling akan semua hal yang kamu hadapi. Karena Allah tidak akan membiarkanmu sendiri, Allah akan selalu ada di hati orang-orang yang beriman dan yakin akan kuasaNya.




Sunday, June 11, 2023

Bagaimana cara saya mengajari anak membaca?

Oleh : Dwi Laelasari

Ketika ada yang bertanya saya "Bagaimana cara mengajari anak membaca bun?", Saya bingung menjawabnya karena saya tak punya jawaban pasti untuk dijadikan semacam trik dan tips praktis bisa membaca, karena yang saya lakukan sesungguhnya hanya membacakan anak-anak buku secara rutin setiap hari.

Dua anak kami bisa membaca tanpa drill dan tanpa mengajari mereka secara khusus kemampuan membaca. Mereka bisa membaca karena seringnya "terpapar" kosa kata dari buku yang kami bacakan.

Awal mengenalkan buku ke kakak Fatih saat usianya menjelang 2 tahun dan tujuan utama saya bukanlah mengajarinya membaca, melainkan memberikan pengalaman menyenangkan berinteraksi dengan buku dan menanamkan ke anak bahwa aktivitas membaca itu tidak membosankan, bahkan sangat menyenangkan.

Kakak & Mba yang saat itu belum bisa baca namun sudah sangat akrab dengan lautan buku

Saat proses membacakan buku itulah, ada masanya mereka penasaran dengan deretan kata yang di buku dan saat itulah baru kenalkan dengan huruf, diajarkan membaca kata per kata. Sambil baca buku, sambil mengenalkan aneka suku kata. Begitulah cara saya.

Bermain dengan buku itu menyenangkan

Kemampuan bisa membaca anak-anak adalah bonus, kejutan yang menyenangkan dari serangkaian aktivitas kami mengenalkan dan membacakan mereka buku.

Kakak dengan buku favoritnya, komik sains

Cukup meluangkan waktu 10-15 menit setiap hari untuk membacakan anak buku, dimulai sejak dini. Maka tak hanya bonus kemampuan anak bisa membaca, melainkan bonus-bonus lain yang lebih besar dan jangka panjang akan anak nikmati. Seperti terpantiknya nalar kritis anak dan meningkatnya kemampuan literasi anak, yang hal itu merupakan bekal anak dalam pendidikannya kelak.

Sebagai orangtua, jangan kita berpikir praktis hanya ingin mengajari anak membaca, namun berpikirlah jangka panjang, bagaimana menumbuhkan kecintaan anak akan aktivitas membaca. Karena bisa membaca saja tidak akan cukup menjadi bekal anak tanpa adanya kecintaan anak membaca dan kemampuan anak memahami isi bacaan.







Cita-Cita dan Growth Mindset

Oleh : Dwi Laelasari

"Ummi, cita-cita Ummi jadi guru ya?" Tanya kakak Fatih pada suatu waktu.

Bukan tanpa alasan pertanyaan itu muncul dari mulut kakak, karena aktivitas Umminya tidak seperti dulu lagi yang full-timer dirumah, sekarang ummi mendapatkan amanah sebagai guru di Sekolah Dasar.

Saya terdiam, tidak bisa menjawab secara gamblang, karena kenyataannya menjadi guru tidak masuk dalam deretan cita-cita idealis saya. Cita-cita yang saya buat secara serius saat jadi mahasiswa. Ya, saya baru bisa menuliskan deretan cita-cita saat jadi mahasiwa.
🤭

Dari obrolan ringan itu membuat saya merenung dan menggaris bawahi bahwa :

Cita-cita belum tentu jadi profesi
Profesi belum tentu sesuai dengan yang dicita-citakan
Tapi jangan sampai kamu tidak punya cita-cita
Entah nanti akan berprofesi sesuai cita-cita atau tidak,
Yang pasti kamu sudah punya tujuan hidupmu, track yang harus kamu tempuh.
Walaupun profesi mu tak sejalan dengan cita-cita, setidaknya kamu bisa bersyukur dan menyelami makna dari ALLAH SWT kenapa kamu di tempatkan di profesi itu.
Pasti ada sesuatu yang bisa kamu lakukan dengan profesi itu dan mungkin disitulah kamu akan menemukan makna hidupmu yang sebenarnya.

Kalau sebagai diri sendiri kita belum bisa menggapai cita-cita atau bahkan belum tahu cita-cita kita, maka sebagai orangtua, kita tidak boleh gagal dalam mengawal cita-cita anak-anak kita. Obrolkan keinginan anak dan passion mereka. Kawal dan bersamai anak-anak sampai mereka yakin dengan cita-cita mereka dan mantap melangkah. Jangan sampai mereka bingung mau apa nanti, bagaimana nanti. Karena kita tak selamanya ada di dekat mereka. Umur tidak ada yang tahu. Kita harus menyiapkan anak-anak yang kuat sebelum jatah waktu kita mampir minum di dunia ini habis.



Salah satu yang perlu orangtua lakukan untuk menyiapkan anak yang kuat adalah dengan membangun growth mindset pada anak. Growth mindset adalah cara bersikap, cara menghadapi masalah dan cara untuk membangkitkan diri sendiri saat terpuruk. Growth mindset atau mindset tumbuh akan membantu dan membentuk anak menjadi pribadi yang kuat, teguh pendirian dan tidak mudah asa. Growth mindset akan membuat anak mempunyai visi-misi atau tujuan hidup, sehingga setiap langkahnya akan tertata dan terarah. Growth mindset akan membuat anak siap menghadapi tantangan zaman, ada atau tanpa ada kita sebagai orangtuanya.

Sebelum menumbuhkan growth mindset pada anak, tentu harus dimulai dari orangtuanya terlebih dahulu. Bagaimana anak akan memiliki growth mindset kalau orangtuanya saja tidak memilikinya? Maka. orangtua harus merubah mindsetnya terlebih dahulu untuk selalu menjadi orang yang memiliki pemikiran berkembang.


Growth mindset di dalam Agama Islam sejalan dengan firman ALLAH SWT di dalam
QS Ar-Ra'd ayat 11

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka."

Ayat diatas mengisyaratkan bahwa Allah pun tidak akan mengubah keadaan kita apabila kita tidak mengubahnya sendiri. Takdir (Mu'alaq) bisa kita ubah apabila kita mau berusaha mengubahnya. Pemikiran mau berusaha, mau berkembang dan tidak pasrah dengan keadaan adalah growth mindset yang harus kita miliki. Bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri. Dan hal itu merupakan bentuk ketaatan kita kepada ALLAH SWT, bentuk kita mengimplementasikan keimanan kita kepada Qada dan Qadar Allah SWT.

Lalu, apa yang perlu kita lakukan agar bisa memiliki growth mindset?
  1. Tahu tujuan hidup. Sebagai orang yang beragama Islam, tujuan hidup kita adalah beribadah kepada ALLAH SWT. Sebagai seorang diri, seorang istri, seorang ibu, tentu masing-masing punya tujuan yang berbeda. Maka pegang erat tujuan itu, arahkan langkah kita ke tujuan hidup kita. Dengan berjalan terarah akan menumbuhkan growth mindset kita.
  2. Selalu berfikir positif, buang pikiran negatif. Apa yang terjadi atas kehendak ALLAH SWT. Ingat hal itu maka pikiran kita akan selalu positif dan dihindarkan dari pikiran negatif. Namun bukan berarti pasrah dengan keadaan, berpikir positif adalah menerima keadaan dengan disertai usaha meningkatkan diri atau berjuang keluar dari musibah. Tawakal, menyerahkan segalanya kepada ALLAH SWT namun disertai dengan usaha / ikhtiar. Growth mindset akan tumbuh sejalan dengan ke-tawakal-an kita.
  3. Menikmati setiap proses, tanpa mengeluh. Setiap kehidupan pasti ada suka dan duka. Saat suka, bahagia secukupnya. Saat duka, sedih secukupnya. Menikmati setiap proses kehidupan itu, tanpa perlu memikirkan hasil akhirnya. Karena Allah SWT sebaik-baiknya sutradara, maka tugas kita sebagai makhluk adalah memainkan peran sebaik-baiknya dan menikmati setiap prosesnya. Growth mindset akan tumbuh ketika kita bisa menikmati setiap proses yang kita lalui tanpa banyak mengeluh.
  4. Melihat tantangan sebagai kesempatan belajar. Adanya cobaan hidup, jadikan itu sebagai proses naik kelas, kesempatan belajar menjadi lebih baik. Tantangan sebagai orangtua, jadikan sebagai kesempatan belajar tentang pengasuhan, tentang segala hal yang kita butuhkan dalam mendidik anak. Dengan selalu mencari solusi atas tantangan yang dihadapi akan memantik growth mindset kita akan tumbuh.
  5. Tidak ada kesuksesan yang instan. Tanamkan pada diri sendiri bahwa di dunia ini tidak ada yang instan. Semua kesuksesan diraih dari proses panjang. Kesuksesan membutuhkan waktu dan ketika kita sudah menyadari hal itu, maka growth mindset kita akan tertanam.
Ranah mindset tidak terlihat oleh mata, namun dapat dirasakan oleh hati dan otak kita. Hanya diri kita sendiri yang mampu menumbuhkannya. Orang lain maupun lingkungan hanya sebagai pemantik. Kesiapan diri kita menerima pemantik lah yang menentukan akan menjadikan kita seseorang yang memiliki growth mindset atau justru sebaliknya.

Orangtua hebat akan selalu bersemangat untuk memaknai setiap nikmat dan tak pernah lelah untuk melangkah karena Lillah.