Social Icons

Saturday, December 12, 2015

MENGATASI EMOSI NEGATIF ORANGTUA PADA ANAK


Oleh:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
www.auladi.net


Pernah merasakan atau mendengar perkataan orangtua seperti ini:


"Abah kenapa ya saya belum bisa menahan emosi saya terhadap anak-anak? Kadang saya mau berusaha menahan emosi saya terhadap anak-anak saya. Tapi gagal. Saya sedih dan sudah faham anak-anak saya masih belajar bukan orang dewasa. "


Apa sih yang membuat orangtua jadi sering emosian pada anak?


Yang membuat kita sering emosi pada anak ada dua sebab besar diantara banyak sebab: pertama, ada masalah dengan kejiwaan kita dan kedua, masalah kompetensi orangtua yang minim tentang anak.


Jika karena masalah kejiwaan, yang biasanya muncul akibat trauma masa lalu saat orangtua ini jadi anak-anak, cara mengatasinya adalah dengan terapi kesehatan jiwa. Datangi psikolog, psikiater, meningkatkan spiritualitas diri dan lain-lain.


Namun demikian, ternyata hasil pengamatan saya, kebanyakan orangtua emosian pada anak bukanlah karena sebab pertama: karena ada masalah dengan emosi atau jiwa orangtua itu, tapi lebih karena sebab yang kedua: kurangnya kompetensi orangtua menghadapi perilaku anak.


Kurangnya kompetensi orangtua menghadapi perilaku anak terbagi lagi menjadi dua bagian: pertama, kurangnya atau bahkan gagal pemahaman memahami anak. Contoh kasus tentang ini misalnya diajukan orangtua seperti berikut pada saya:


"Abah saya jengkel pada anak saya yang pertama. Kenapa ya kalau teman-temannya datang kok anak saya lebih memilih bermain dengan temannya daripada dengan adiknya? Sampai sewaktu adiknya mau ikut, kakaknya menyingkirkan adiknya sampai menangis? Bagaimana ya Abah agar anak saya lebih menyayangi adiknya?"


Karena kurang memahami bagaimana anak tumbuh berkembang, akibatnya seperti kejadian di atas: menyangka dengan kejadian tersebut si kakak tidak menyayangi adik.


Menduduh si kakak gara-gara kejadian ini "tidak sayang adik" berlebihan rasanya. Buktinya di waktu atau kondisi lainnya si kakak mau kok main sama adik, benar kan? Tak jarang pula sebagian kakak ini bahkan menjadi pembela si adik jika si adik disakiti temannya.


Jika saya jadi orangtua ini, saya akan ambil si adik lalu katakan "adik, tak boleh ikut kakak ya nak! Biar kakak main dengan teman-temannya." Mau maksa kek adiknya, tetap tidak bisa.


Lho kok bisa? Iya, itu namanya menjaga "izzah" si kakak. Boleh kan si kakak sesekali punya "privasi" dengan sesekali tidak main dengan adik?


Saya tidak usah jelaskan panjang lebar tentang ini. Biar jelas saya berikan contoh saja agar lebih gampang difahami penjelasannya.


Anda seorang ibu. Lagi ngerujak mangga di siang hari yang panas dengan teman-teman arisan Anda. Tentu sesama perempuan. Anda tengah asyik menikmati dan bercengkrama, tiba-tiba suami Anda nimbrung di tempat Itu. Apa yang Anda rasakan?


Jika sekadar dikenalkan "ini suami saya" wajar-wajar saja. Tapi jika suami Anda dengan inisiatifnya sendiri ikutan duduk-duduk disitu apa yang Anda rasakan? Saya tidak tahu jawaban Anda. Tapi ketika saya tanyakan ini kepada ribuan perempuan yang saya tanya jawaban mereka adalah "gak nyamanlah!", "risihlah".


Lalu wajar tidak jika kemudian suami Anda malah mengatakan. "Kenapa? Nggak suka aku ikutan? Kok kamu malah milih temani teman-teman kamu sih, sementara aku dari tadi dicuekkin?"


"Gubrak" nggak tuh?


Wajar kan, kadang Anda ingin berkumpul sesekali dengan teman dan tidak didampingi suami Anda?


Apa bedanya dengan anak kita kalau begitu?


Tak sedikit orangtua kecewa pada anak bukan karena anaknya mengecewakan tapi karena gagal memahami anak itu sendiri. Kasus yang sama yang sering saya temui diantara yang lain adalah tentang kekecewaan orangtua perihal anak malas belajar, anak tidak mandiri, anak tidak bertanggung jawab, masalah kreativitas anak, mendifinisikan keberanian dan kepintaran anak.


Gagal atau kurang memahami akan menyebabkan peluang lebih besar untuk orangtua gagal atau kurang secara tepat memperlakukan anak.


Kurangnya kompetensi orangtua yang kedua adalah soal keterampilan orangtua menghadapi tingkah laku anak yang tidak sesuai seperti: berantem, suka memukul, menendang dan perbuatan menyakiti lainnya.


Juga dalam menghadapi anak yang lelet, anak yang malas melakukan rutinitas harian (mandi, sikat gigi, tidur, bangun, makan, dll), anak yang sering rewel dan ngamuk, anak yang tukang jajan dan konsumtif, anak yang berlebihan main game, playstation, nonton televisi dan anak yang sering membantah orangtua.


Apa yang dilakukan orangtua yang tidak terampil untuk menghadapi perilaku yang tidak sesuai seperti tadi? MENGANDALKAN SENJATA KATA-KATA (banyak bicara).


Terlalu banyak bicara pada saat anak berbuat buruk umumnya akan membuat orangtua jadi banyak emosi. Percayalah. Dalam kadar parah, biasanya jika sudah banyak emosi dapat memancing kekerasan orangtua pada anak. Jadi jika dirunut tahapnya adalah: BANYAK BICARA - BANYAK EMOSI- MEMANCING KEKERASAN.


Mengapa terjadi? Begini ceritanya. Pada saat anak berperilaku tidak sesuai, biasanya orangtua perasaanya positif atau negatif? Negatif kan? Jika negatif, berarti orangtua kecewa pada anak. Pada saat kecewa menyebabkan orangtua mengeluarkan "serangan" pada anak. Pada saat anak "diserang" anak pun tegang.


Pada saat tegang, otak anak melakukan pertahanan diri, otak mereka mengkerut, saling merapat, membuat barisan pertahanan. Akibatnya? Jangankan nasihat, jangankan anak, kita saja orang dewasa, pada saat anak berbuat buruk makan pun tidak enak. Jangankan nasihat, makanan aja tidak masuk kan?


Karena nasihat dan kata-kata orangtua  tidak masuk, menyebabkan orangtua jadi jengkel kesel pada anak. Jika berulang, inilah yang menyebabkan emosian pada anak. Pernah dengar kalimat semacam ini di rumah: "Kenapa sih gak dengerin! Harus  berapa kali sih ayah/ibu bilang?!"


Tak jarang pula, pada tingkat yang parah emosian pada anak berpeluang untuk memancing kekerasan orangtua pada anak.


Inilah biang kerok kekerasan yang sebenarnya, selain warisan masa lalu. Kompetensi yang kurang memancing kekerasan orangtua pada anak.


Tanyalah pada orangtua yang melakukan kekerasan pada anak: apakah mereka meyayangi anak mereka? Tentu saja iya. Apakah mereka nyaman dan ingin terus-terusan menyakiti anak? Tentu saja tidak! "Bahkan saya juga dari dulu tahu teorinya: memukul anak itu tidak bagus!"


Tapi mengapa mereka masih melakukannya? Karena tidak tahu bagaimana lagi caranya? Alias tidak tahu cara lain.


Jadi apa solusinya? Tingkatkan kompetensi Anda. Belajar lah untuk meningkatkan kompetensi Anda. Insya Allah ada perbedaan. Meski tidak langsung merubah perilaku, tapi saya berani menjamin ada perbedaan orangtua yang sering belajar dengan yang tidak.


Ketika Anda belajar, Anda akan menemukan ternyata ada banyak cara untuk mengatasi perilaku anak yang tidak sesuai selain dengan mengandalkan kata-kata dan kekerasan. Seperti apa?


Terlalu panjang saya jelaskan, buku tentang tema ini saja sudah saya tulis ratusan halaman. Silahkan baca buku saya kelima yang soal disiplin anak. Di pelatihan saya jelaskan seharian dari pagi sampai maghrib!


Masih kurang? Gabung di komunitas yuk-jadi orangtua shalih untuk sharing. Masih kurang? Saya persilahkan alumni telepon saya via telepon tiap rabu-kamis (sementara ini) untuk saya bimbing langsung.


Masih kurang juga? Undang saya ke rumah! Semoga yang terakhir ini tidak Anda lakukan. Bayangkan jika 50 ribu alumni pelatihan saya minta dikunjungi ke rumah, sepertinya umur saya di dunia tidak akan mencukup untuk menjangkau semuanya.


Jadi, siapa mau ikut belajar?


Silahkan share tulisan ini dengan menjaga etika (menyebut sumbernya secara lengkap tanpa dipotong-potong)


SUMBER: https://www.facebook.com/notes/yuk-jadi-orangtua-shalih/materi-mengatasi-emosi-negatif-orangtua-pada-anak/10152674642790700



No comments:

Post a Comment