Saya lupa tahunnya, tapi yang pasti telah lebih dari 15 tahun silam. Dia saya dapati sedang berdiri di samping sebuah mesin jahit kuno. Ia tampak khusyuk mengamati seorang bibiku menjahit. Bulu matanya lentik dan tatapan matanya sayu. Pipinya kemerahan meronai kulit wajahnya yang bersih dan kuning langsat. Ada nuansa kecantikan pada usianya yang belum lagi 12 tahun.
Tapi dia adalah seorang laki-laki. Dia adalah seorang kemenakan saya, anak bungsu dari sepupu saya yang tinggal bersebelahan dengan rumah keluarga besar saya, di kampung. Tiba-tiba kegelisahan menyelimuti saya. Saya seakan ditampar-tampar oleh sebuah rasa tanggung jawab sebagai seorang psikolog. Seharusnya saya tak perlu terkejut, karena kisah femininitas kemenakan lelaki saya itu telah lama saya dengar. Bahkan telah menjadi olok-olok dan becanda orang kampung. Tapi bahwa siang itu ia tampak begitu kemayu, itu benar-benar menggelisahkan.
Uuuffhhhh... Saya tak mungkin tak gelisah. Saya tak pernah sedikitpun percaya bahwa sebagian banci adalah “takdir dari sononya”. Dan betapa saya sering akan muntah ketika mendengar ungkapan bodoh nan puitis, bahwa “transgender adalah jiwa perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki”. Sehingga saya tak pernah sedikitpun ragu untuk berkeyakinan : sepupuku telah menyimpang dari fitrahnya !!! Alhamdulillah, inilah untungnya berpegang pada definisi langit : tak mudah ragu...
Segera saya panggil seorang kakaknya, sore itu juga. Kebetulan salah seorang kakaknya seumuran dengan saya, hanya terpaut satu tahun lebih muda. Dengan sedikit tak sabar, saya mencecarnya dengan seribu tanya : ada apa dengan adiknya... kenapa bisa begitu... bagaimana pola asuhnya... apa aktivitasnya... apa yang biasa dimakannya... bagaimana kebiasaannya... Ya, saya harus segera tahu banyak hari itu juga, karena esoknya saya harus segera balik ke Jakarta.
Dan benar saja... Ini adalah kisah tentang anak bungsu yang dimanja... Ia dekat dengan sosok ibu dan kehilangan figur ayah... Ia adalah korban kasih sayang berlebih, karena ibunya ingin menumpahkan segala perhatian padanya, sebagai pelampiasan atas sesuatu yang telah gagal ia berikan pada anak-anaknya yang lain, sebelumnya. Maka ia tak boleh bekerja keras. Ia tak boleh dihardik atau diplonco kakak-kakaknya, karena ibunya akan segera meradang : “Kalian dengki ya dengan adik kalian ?”. Tak ada hal “macho” yang boleh ia lakukan. Yang rutin ia lakukan adalah membantu ibunya memasak dan menyapu halaman rumah yang lumayan luas....
Setelah itu mulailah saya menitipkan pesan demi pesan pada sang kakak, bagai seorang juru selamat yang sok tahu. Untungnya ia mendengar dengan cukup takzim. Saya sampaikan berbagai strategi dan cara agar adiknya kembali menjadi lelaki, sambil sesekali saya takut-takuti dia akan hal buruk yang mungkin terjadi di masa depan. Kami berpisah menjelang Maghrib, dan ia berjanji untuk melaksanakan saran saya.
Waktu berjalan cepat setelah hari itu. Yang jelas saya berjumpa lagi dengan sang kemenakan dalam sebuah perhelatan di Bandung, delapan tahun silam. Saya terharu, kini ia telah menjadi lelaki walau suaranya masih lembut dan tangannya masih agak melambai. Tapi satu setengah tahun silam saya tak tahan untuk tak menumpahkan air mata. Ia menikah dengan seorang perempuan Jogja. Ia jabat tangan mertuanya dengan kokoh, dan ia ucapkan ijab-qabul dengan suara berat seorang lelaki.
Adriano rusfi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar