Social Icons

Senin, 25 Mei 2015

Renungan pendidikan - panik

Sungguh mengherankan jika masih ada yang beranggapan bahwa majunya sebuah peradaban terjadi apabila generasi peradaban dididik sehingga cerdas semuanya dengan cara dijejalkan sebanyak banyaknya data, informasi dan pengetahuan sejak usia dini, kalau perlu sejak dalam kandungan.

Sebuah koran nasional berwarna Islam di tahun 90an, memuat artikel yang memberikan tips mengajarkan bayi dalam kandungan dengan cara menyuruh ibu hamil berdiri di atas buku sehingga bayi di dalam kandungan bisa mulai belajar membaca. 

Panik?

Kepanikan akibat cara pandang kompetisi kecerdasan ini berlangsung sampai hari ini, anak anak dipacu digegas dijejali sebanyak banyak yang mereka mampu atau bahkan tidak mampu telan. Siapa peduli. Dunia ini kejam bung, anak harus menjadi jenius jika ingin survive!

Sekolah yang menjajakan kecerdasan menjamur dimana mana, baik kecerdasan tunggal maupun kecerdasan majemuk. Makin cerdas, makin juara, makin mahal. Orangtua panik, memborong kecerdasan apapun yang bisa dibeli dan dibawa pulang.

Belum lama seorang mantan wakil presiden tamatan Harvard, menulis artikel yang menyuruh memulai mengajarkan anak sejak bayi sehingga kecerdasan otaknya bisa sempurna yang merupakan unsur terpenting agar bangsa menjadi kompetitif.

Mindset semua penganut kompetisi kecerdasan ya begitu, bahwa peradaban akan maju dan kompetitif jika anak anak dijejalkan banyak pengetahuan sedini mungkin. Kalau bisa terpadu makin bagus, isilah sebanyak banyaknya ilmu agama dan ilmu sains. Padahal pacuan ini ya tidak kemana mana juga.

Dalam cara pandang demikian, kecerdasan dianggap sbg mata uang paling berharga. Jadi jika kaum muslimin ingin membebaskan dirinya dari belenggu penjajahan, ingin menguasai dunia maka paculah kecerdasan. Bukankah Yahudi menguasai dunia karena kecerdasannya?

Lagi lagi cara pandang kompetisi kecerdasan yang memberhalakan kecerdasan. Coba renungkanlah, betulkah tarbiyah Rasulullah saw difokuskan mendidik para Sahabat agar cerdas dengan menjejalkan mereka sebanyak banyak pengetahuan agar bisa bersaing dengan Yahudi, Romawi dan Persia? Betulkah peradaban Islam awal itu unggul karena para Sahabat mampu menandingi kecerdasan pengetahuan atas dua peradaban besar ketika itu? Lupakah kita bahwa keunggulan para Sahabat ada pada kekuatan fitrah keimanan atau ruhiyahnya, semangat fitrah peran dan gairah fitrah belajarnya?

Teknologi, militer dan pengetahuan generasi Islam pertama jelas jauh di bawah dua peradaban besar, namun kemudian sejarah mencatat, kedua peradaban besar itu tekuk lutut karena kekuatan ruhiyah dan kemuliaan akhlak yang berangkat dari fitrah yang sudah ditarbiyah sehingga mengalami kesadaran yang tinggi dan kembali lurus ke tempat semula. Inilah kekuatan yang melahirkan keberanian dan ketulusan, gairah belajar tingkat tinggi, gairah bakat peran peradaban tanpa tepi, kecintaan pada harmoni semesta ciptaan Ilahi, keridhaan tiada tara sampai mati dstnya. Ini berlangsung selama ratusan tahun setelahnya.

Dalam perspektif Islam, sang pemenang bukanlah yang mengambil dan menguasai sebanyak banyaknya, tetapi adalah sang pemberi rahmat dan manfaat sebesar-besarnya bagi peradaban dan semesta dengan semua karunia firrah yang dikaruniakan Allah swt kepadanya.

Sayangnya kebanyakan kita korban sistem persekolahan, yang memandang sang juara adalah sang anak cerdas yang tahu semua hal, paling besar kapasitas memori dan database di kepalanya. Padahal pengetahuan bukan untuk dikuasai, namun sekedar menjadi penerang bagi jalan menuju kesejatian fitrah.

Maka bisa dipahami jika ada yang mati-matian menyuruh Calistung sedini mungkin, karena calistung dianggap pintu masuk bagi penjejalan kecerdasan menuju keunggulan peradaban. Jadi bagi penganut kompetisi kecerdasan, mereka yg tidak setuju calistung dan semua upaya penjejalan pengetahuan dianggap sdh teracuni propaganda musuh dan dituduh mendukung pembodohan kaum muslimin.

Sungguh banyak muslim yg punya pandangan yg sama dengan hal di atas, mereka mengukur keunggulan peradaban dicapai dengan keunggulan dalam menguasai banyak pengetahuan dan informasi serta data. Mereka, para penganut kompetisi kecerdasan, mengalami kepanikan karena pendekatan mereka utk memajukan peradaban dibangun dengan cara pandang kompetisi pengetahuan dan kecerdasan. Pengalaman mereka selama bersekolah menggiring mereka untuk berfikir bahwa sang juara adalah sang jenius yg curi start belajar sejak bayi bahkan kalau perlu sejak janin. Luar biasa.

Padahal pengetahuan berkembang dua kali lipat setiap tahun, lalu bagaimana menjejalinya? Padahal tidak pernah dicontohkan Nabi SAW bahwa pendidikan yang seperti itu akan mampu membangkitkan peradaban.

Lalu bagaimana membangun dan mendidik sebuah generasi peradaban yang akan menjadi rahmat dan manfaat bagi semesta, yang menjadi ummat pertengahan dan ummat terbaik?

Fokuslah dan sibukanlah pada pendidikan yang menumbuhkan dan merawat semua potensi fitrah yang dimiliki generasi itu sendiri dengan nilai nilai yang diyakini sendiri.

Jangan disibukkan pada kompetisi dan persaingan serta meniru niru bangsa atau peradaban lain, tetapi sibukanlah pada upaya menjadi jatidiri sendiri dengan semulia mulia akhlak yang dibangun atas nilai nilai yang diyakini sendiri.

Sesungguhnya peradaban mulia dan terbaik akan Allah swt berikan kepada mereka yang memuliakan semua potensi fitrah yang dimilikinya sendiri dengan nilai nilai terbaik pada Kitabullah yang mulia.

Salam Pendidikan Peradaban



Harry santosa (millenial learning center)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar