Social Icons

Senin, 29 Juni 2015

Tentang Homoseksualitas

Membaca time line facebook, ada satu tulisan menarik, yang sepertinya layak untuk di share tentang homoseksualitas yang kini sedang heboh.
-------------------
Beberapa waktu yang lalu, wartawan Detik menelpon saya, mau wawancara soal kondisi kaum gay di Iran. Saya tidak tahu, akhirnya dimuat atau tidak. Jawaban saya waktu itu: menurut pengamatan saya selama tinggal di sana, Pemerintah Iran bukan jenis pemerintah yang menelisik kehidupan pribadi. Selama mereka tidak memproklamirkan diri, tentu saja negara tidak bisa berbuat apa-apa. Kasus lain, jilbab diwajibkan saat keluar rumah. Tapi bila si perempuan tidak pakai jilbab di rumah di depan tamu-tamu laki-lakinya, negara tidak mengurusi, atau memata-matai. Itu urusan dia dengan Tuhannya.
Beda urusannya dengan mereka yang mempropagandakan perilaku tersebut, misalnya terang-terangan buka jilbab di jalanan umum, atau terang-terangan bercinta sesama jenis di depan umum. Atau pasang pengumuman di facebook bahwa mereka ‘jadian’. Di sini negara akan intervensi karena UU-nya sudah jelas mengatur soal itu. Hal serupa terjadi dengan zina. Seseorang baru bisa diajukan ke pengadilan karena berzina ketika ada dua saksi adil yang “benar-benar melihat prosesnya”. Artinya: mereka berzina terang-terangan, gak pake malu lagi. Bila mereka melakukannya di rumah dan tidak ada saksi, negara tidak bisa berbuat apa-apa; karena lagi-lagi, tugas negara memang bukan memata-matai rumah warga negaranya.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang benar-benar ‘gay’ (mengklaim diri sebagai manusia ‘terlahir demikian’ atau ‘diciptakan demikian oleh Tuhan’)? Negara memfasilitasi untuk berganti kelamin (tetapi harus dibuktikan secara medis bahwa orang tersebut memang ‘terlahir demikian’; ada perbedaan kromosom, atau entah apanyalah), lalu mereka menikah sebagai sepasang laki-laki dan perempuan.
Nah, itu di Iran yang UUD-nya berdasarkan Islam (dan pada saat penyusunan UUD juga dilakukan referendum untuk meminta persetujuan rakyat, jadi tidak ditetapkan secara sepihak oleh elit).
Bagaimana dengan Indonesia, atau negara mana saja, yang sekuler? Karena Indonesia bukan negara berlandaskan Islam, perdebatan menjadi berlarut-larut ketika aturan Islam dipakai sebagai argumen (meskipun, saya tahu pasti, sebagian kalangan Nasrani pun punya posisi yang sama dengan Islam soal ini, yaitu menolak homoseksualitas).
Mari kita melihatnya dari sisi ini. Ini kisah nyata. Seorang anak usia remaja (laki-laki, usia SMP), kecanduan hubungan seks dengan sesama jenisnya. Pada jam tertentu, dia gemetar saking ‘pingin’-nya. Dia dibawa ke seorang ahli parenting, dengan harapan bisa sembuh (si ahli parenting ini yang cerita kasus ini ke saya). Ternyata, dia sejak kecil disodomi oleh guru ngajinya sendiri, yang secara rutin datang ke rumah untuk mengajar ngaji. Lalu, ketagihan.
Apakah si anak terlahir dengan ‘bawaan’ sebagai gay? Tidak. Dia waktu kecil baik-baik saja. Dibesarkan dengan penuh cinta oleh ortunya. Dicarikan guru ngaji terbaik, lulusan dari pesantren ternama. Tapi dia ‘dipaksa’ untuk jadi gay. Apakah ini yang disebut ‘bawaan lahir’?
Kisah nyata lain, saya dapat dari psikolog yang menangani perempuan lesbi. Si perempuan baik-baik saja awalnya, dan menikah dengan laki-laki. Tiba-tiba dia berteman dengan seseorang perempuan lain, lalu dirayu-rayu, dan akhirnya ‘jadian’ dan ketagihan. Si perempuan sudah berusaha lepas dari temannya itu, dan ikut terapi. Tapi si teman lesbi itu terus mengejar-ngejar, dan akhirnya mengajak kabur. Rumah tangganya pun bubar, anak-anaknya kacau balau. Apakah ini yang disebut ‘bawaan lahir’ dan ‘ciptaan Tuhan’?
Kisah nyata lain, seperti diceritakan seorang ibu yang masuk ke grup gay dengan tujuan meneliti (link ada di komen status ini), yang ternyata sebagian besar anggotanya remaja. Dari komunikasi di antara anggota grup itu, yang mengemuka bukan CINTA tapi transaksi seks bebas di antara sesama lelaki (remaja). Apakah ini 'kehendak Tuhan’?
TIDAK. Ini disebut MERUSAK kehidupan orang lain. Saya tidak akan meludahi para homo/lesbi, saya tidak akan menghina mereka, tidak akan merusak properti mereka. Tapi saya TIDAK SUDI bila anak-anak yang saya besarkan baik-baik dengan penuh CINTA kalian rusak, kalian paksa untuk untuk jadi gay (melalui perkosaan), kalian bujuk mereka (melalui berbagai propaganda) bahwa ‘inilah gaya hidup yang keren’ , dan kalian paksa kami –para ortu- untuk menerima bahwa “ini kehendak Tuhan”, “Ini gaya hidup yang normal, kok, kalian aja yang fanatik”, dll.
Toleransi adalah berdiri sejajar, bersama-sama, tapi tidak saling merusak kehidupan orang lain.

Dina Y Sulaeman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar