Social Icons

Rabu, 04 November 2015

Evolusi Ibu Harimau



“Kita bukan dari keluarga berada. Satu-satunya cara memperbaiki hidup kita dengan belajar, sekolahlah yang rajin,” seperti itu kurang lebih pesan yang terus menerus didengungkan Ibu dari saat saya ingat sampai remaja. Kebanyakan orangtua dari teman sebaya saya saat itu juga demikian. Para Ibu Asia dalam tradisinya ternyata juga bersikap demikian. Paksaan untuk kerja keras terus menerus, pengingatan ancaman konsekuensi kemalasan tak henti, penekanan ekspektasi atau harapan yang tinggi, serta upaya pendisiplinan dari para ibu ini disebut menjadi salah satu faktor keberhasilan anak-anak Asian American, bahkan yang merantau jauh sendirian ke negara maju lainnya (Park, Time, 5 Mei 2014).

Sampai sekarang dapat diamati, keluarga Asia dari golongan yang ekonominya tidak tinggi pun akan memasukkan anaknya ke berbagai les privat dan kursus. Kemudian, nilai tinggi dalam bidang Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris selalu digunakan jadi patokan keberhasilan anak. Lalu, merasa tak cukup puas dengan matapelajaran yang diajarkan di sekolah, anak didaftarkan pada kursus keterampilan, seperti berbahasa Inggris, bermusik, berhitung, menari, dan melukis. Ini mewabah di kalangan keluarga menengah dan atas di Asia, termasuk Indonesia, sampai sekarang. Satu lagi, banyak orangtua juga sangat percaya pada skor ujian terstandardisasi semacam UN untuk menilai keberhasilan anaknya.

Adagiumnya, anak harus dibiasakan dengan jadwal padat, disiplin ketat, serta kerja keras. Jangan sampai anak keenakan santai. Merasa tertekan tidak masalah. Hanya dengan cara itu anak akan berhasil dalam studi dan hidupnya. Demikian mungkin keyakinan para orangtua seperti di atas.

Secara pribadi, harus diakui bahwa sedikit banyak cara mendidik di dalam keluarga seperti di atas memang berperan pada keberhasilan studi, termasuk saya. Tarafnya dari yang sangat ringan sampai sampai keras berlebihan. Sikap keluarga terhadap pendidikan macam ini jamak dialami dan malah dimaklumi serta dipraktikkan di masyarakat Indonesia, dan tampaknya pendekatan mendidik anak seperti itu tetap berjalan sampai sekarang.

Sikap serta keyakinan banyak para Ibu Asia tradisional ini diistilahkan oleh Amy Chua (Guru Besar Hukum di Universitas Yale) sebagai Tiger Mom atau Ibu Harimau dalam buku kontroversialnya The Hymn of The Tiger Mother (Chua, 2011). Sikap kebanyakan ibu keturunan Asia (utamanya Cina) itu disinggung sekaligus dikritik dalam buku Who’s Afraid of The Big Bad Dragon (Zhao, 2014). Yong Zhao mengatakan bahwa cara mendidik para Ibu Harimau (dan Bapak Serigala) ini sudah tak sesuai lagi dengan kehidupan dan tuntutan dunia kerja di Abad ke-21. Ini sejatinya juga pesan buku Amy Chua, bahwa cara mendidik anak dengan sangat keras dan disiplin kaku tak cocok dengan jaman sekarang. Kedua buku sama-sama mengirimkan pesan yang sama, hanya cara Amy Chua dengan satir, sehingga bukunya kerap dipersepsi keliru bahwa dirinya menjuarakan cara mendidik anak yang keras keterlaluan itu. Akibatnya, bukunya mendapat reaksi negatif yang meluas.

Pendapat Amy Chua dan Yong Zhao sebenarnya saling melengkapi. Sikap Ibu Harimau yang peduli sepenuh hatinya pada anaknya dalam bidang pendidikan merupakan keyakinan yang perlu kita terus budayakan secara luas. Namun, seperti diungkapkan oleh Yong Zhao, kehidupan dunia hari ini menuntut keterampilan yang berbeda dari abad-abad sebelumnya. Cara mendidik Ibu Harimau dalam keluarga yang baik perlu dilanjutkan, tetapi yang buruk harus ditanggalkan. Ibu Harimau perlu berevolusi.

Di abad-abad lalu, tentu keterampilan prosedural serta rutin seperti berhitung dengan angka besar secara mental dan cepat dibutuhkan. Juga kemampuan menghafal fakta merupakan keterampilan yang dibutuhkan di era itu. Namun di abad ini justru keterampilan-keterampilan tersebut telah digantikan oleh kalkulator dan komputer. Yang dibutuhkan saat sekarang justru keterampilan memanfaatkan informasi dan teknologi untuk menyelesaikan masalah.

Sungguh konyol sebenarnya jika ada anak diminta mengalahkan kemampuan berhitung kalkulator. Mungkin menarik memang bahwa manusia dapat mengalahkan kalkulator, namun jika demikian di mana cerdasnya manusia? Bukankah teknologi itu untuk dimanfaatkan, bukan untuk dikalahkan?

Keterampilan bernalar, memecahkan masalah, juga menyampaikan gagasn sampai meyakinkannya, itu yang dibutuhkan anak di abad ini. Jadi, pertama, Ibu Harimau perlu turut membantu atau setidaknya menyadarkan anaknya untuk berlatih tiga keterampilan tersebut.

Kedua, Ibu Harimau perlu mengurangi fokus berlebihannya pada skor anak. Menjaga nyala gairah belajar dalam diri anak lebih bermanfaat pada kehidupannya di masa depan ketimbang skor ulangan.

Ketiga, keberhasilan anak memang penting, tetapi kebahagiaan dan kesehatan jiwanya juga amat penting. Keberhasilan dan kebahagiaan perlu berimbang.

Keempat, kebiasaan buruk Ibu Harimau (dan Bapak Srigala) yang gemar membandingkan dan memperlombakan anaknya dengan anak lain perlu diubah. Perilaku seperti adu jangkrik, yakni bangga bila jangkriknya menang aduan, perlu dihentikan.

Di pemerintahan sekarang, sebuah strategi lintas kementerian untuk penyadaran butuhnya evolusi Ibu Harimau tentu perlu dipikirikan masak-masak.

dimuat di Koran Tempo, 25 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar