Kamis, 02 Februari 2017
si-Emo dari Sampah Masa Lalu
Masih belum bisa kontrol emosi rupanya saya ini. Terlebih dengan keadaan yang diluar dari kebiasaan di Bontang. Tapi kali bukan sama anak, tapi sama kakak.
Yah karena lagi dirumah ibu, yang kebetulan ada kakak yang tinggal serumah, dan punya anak seusia Fatih. Otomatis kondisi berbeda dengan di Bontang.
Bukan hanya Fatih yang jadi belajar banyak hal, tapi saya juga belajar menata emosi dengan keadaan ini.
Sampah masa lalu tentang hubungan kakak adek masih membekas sampai sekarang. Entah bagaimana cara membuangnya, saya tidak tahu. Setiap kali pulang kerumah Ibu, yang ada emosi ini seketika labil. Kadang bisa tiba-tiba marah tanpa sebab, kadang bisa tiba-tiba benci seketika dan kadang tiba-tiba memunculkan rasa ga betah berlama lama dirumah ibu.
Entah riwayat mada kecil yang selalu dibanding-bandingkan, yang selalu "harus" mengalah dan seringkali mendapat verbal bullying, tanpa sadar membekas di dalam diri yang memunculkan rasa iri dan rasa benci.
Tapi anehnya perasaan itu muncul hanya saat bertemu, saat pulang kerumah Ibu, kalau sudah di Bontang, emosi kembali stabil dan lebih bisa di tata.
Dan kondisi ini yang bikin selama di Jawa, sering kali marah dan ngomong keras sama Fatih. Pun saat Fatih ga bersalah, hanya minta sesuatu atau sekedar minta perhatian, kadang saya yang emosi.
Yah sampah menahun ini harus segera dibuang. Tapi bagaimana caranya? Sampai sekarang sayapun belum bisa. Apa karena sudah terlalu membekas dalam hati?
Aaah entahlah, semoga Allah selalu menuntun hati hamba dan menjauhkan dari segala bentuk sakit hati. Aamiin
Terkait hubungan kakak adek, saya baru sadar ketika telah dewasa, ada pola komunikasi yang salah dari orangtua kami. Ya karena suatu hal, harus terpisah dari Ibu selama belasan tahun, tinggal hanya sama bapak dan nenek, membuat kami pincang, kurang kasih sayang dari Ibu. Dan bapak dengan pola komunikasi searah, dengan nada keras dan cenderung marah-marah, membuat masa masa menjadi ga nyaman bagi anak belasan tahun, yang sedang mencari jati diri.
Perbedaan fisik antara saya & kakak yang seringkali dibandingkan, terlebih dari teman dan tetangga. Didalam rumah, tabiat kakak yang "merasa lebih" membuat saya harus sering mengalah untuk hal apapun. Dasarnya saya ga bisa melawan. Ya cuma menerima keadaan dan sakit hati yang terpendam. Sampai bertahun tahun dan sampai sekarang sudah belasan tahun. Sakit hati itu terus menghantui kalau lihat langsung orangnya.
Ya berkaca dari itu, saya ga ingin anak-anak menjadi saling iri & saling benci sama saudara. Pola komunikasi ke anak harus saya rubah. Harus ada catatan khusus untuk mengontrolnya. Saya harus memutus mata rantai komunikasi searah, yang membandingkan, memerintah, mengancam dan merendahkan. Saya harus menjaga lisan agar yang keluar hanya kata-kata positif dan produktif. Bukan demi diri sendiri, tapi demi anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dari orangtuanya. Aamiin
#hari4
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar