Social Icons

Sabtu, 06 Oktober 2018

Aah, Namanya Juga Anak Kecil!


Aah namanya juga anak kecil!


Sering mendengar kalimat itu terlontar Bunda?
Atau malah biasa mengucapkannya saat anak melakukan kesalahan ?

Hemmmm, kalau iya. Ini sangat perlu diluruskan. 

Iya, mereka masih anak kecil. Tapi kondisi anak yang masih kecil itu bukan menjadi maklum untuk tidak mengarahkannya, untuk tidak memberitahunya mana yang baik dan mana yang buruk.

Karena pada dasarnya sejak bayi sekalipun, anak sudah mampu membedakan baik dan buruk. Ada sebuah percobaan berjudul "Still Face Eksperimen" menunjukkan bagaimana bayi bereaksi ketika mereka tidak dapat mengendalikan interaksi dengan ibu mereka.

Percobaan ini menunjukkan bagaimana bayi sudah dapat membedakan mana "wajah baik" dan "wajah dingin" dari orangtuanya. Siapa yang mengajarakan ini? Ini adalah fitrah moralitas dan spiritualitas. Bagaimana manusia dirancang oleh Allah SWT dalam keadaan fitrah, dalam keadaan mencintai kebaikan dan tidak menyukai keburukan.

Lantas ketika anak tumbuh dan berkembang, ada satu fase dimana dia suka bereksplorasi terhadap lingkungan, mencari sebab akibat atas suatu proses dan bergerak kemanapun yang dia mau.

Saat proses itu, sangat mungkin anak melakukan kesalahan, berbenturan dengan adab, yang mungkin anak belum tahu sebelumnya.

Misalnya, anak yang aktif bergerak, sangat penasaran "apa ya rasanya lompat dari meja ke kursi?" dan diapun eksperimen jumpalitan dari meja ke kursi dengan penuh semangat.

Lantas apa kita akan membiarkan karena itu merupakan proses belajar anak? Atau akan kita tegur bahkan larang karena itu tidak sopan? 

Ini yang kemudian menjadikan sebagian orang beralibi "ah namanya juga anak kecil". Merasa wajar anak jumpalitan di meja dan kursi. Dan ini menjadikan beberapa orangtua lupa. Bahwa kalau anak tidak dikasih tau tentang sopan santun, tentang adab, tentang fungsi meja dan kursi, mereka akan mengganggap apa yang mereka lakukan sah-sah saja. Dan sangat bisa kebawa ketika anak diajak bertamu. Anak akan memperlakukan rumah tuan rumah sebagai rumah sendiri dan bebas jumpalitan sana sini. 

Dan lagi-lagi alibi "aah, namanya juga anak kecil" menjadi andalan. Padahal kebiasaan baik, mengajarkan sopan santun, mengajarkan adab itu dimulai dari kecil. Bukan tiba-tiba kalau nanti sudah besar, anak akan tahu sendiri. 

Kalau sedari kecil tidak  dikasih tahu, ya sudah... anak akan tumbuh menjadi pribadi yang "sak penake dewe". Tidak punya aturan, tidak punya rasa takut melakukan kesalahan, karena tidak pernah dikasih tahu mana yang salah mana yang benar. 


Tapi kan fitrah anak memang seperti itu, bergerak dan tidak bisa diam? Apa tidak mencederai fitrah anak kalau dilarang-larang?

Betul, setiap anak lahir dengan membawa fisik yang suka bergerak. Dan setiap anak adalah pembelajar tangguh yang selalu penasaran dengan hal baru. Tapi itu bukan alasan untuk tidak memberikan pengajaran tentang sopan santun dan adab.

Kita bisa memberinya nasehat "Nak, meja itu buat menaruh makanan, kursi buat duduk kalau ada tamu. Kalau kamu ingin lompat-lompat silakan diluar yuk. Kita bikin permainan seru". 
Memberi pengarahan dan sekaligus solusi untuk ruang bergerak anak. 

Kalau hanya melarang "jangan lompat-lompat di kursi, nanti rusak". Ini yang keliru, karena anak dilarang tanpa dikasih penjelasan dan tanpa dikasih solusi untuk menyalurkan hasrat bergeraknya.

Pun saat mengajak anak bertamu atau pergi ke tempat umum. Beri penjelasan sebelumnya tentang adab bertamu dan ditempat umum. Ini penting, biar anak tahu bagaimana menghormati tuan rumah, bagaimana sikap kita sebagai tamu dan bagaimana menjaga sikap saat di tempat umum. Jangan sampai karena alibi "ah namanya juga anak kecil" dan membiarkan anak jumpalitan dirumah orang, kemuliaan anak kita dimata tuan rumah tercederai. Atau dengan melarang anak dan memarahi anak di rumah orang / ditempat umum, itu akan membuatnya sedih dan menciderai firahnya.


Adab tidak bertentangan dengan fitrah anak. Adab tidak akan mencederai fitrah anak. Keduanya saling seiras seirama kalau kita menyadarinya.


Diibaratkan fitrah anak adalah benih. Tanah tempat menanam benih adalah tempat tinggal anak (keluarga dan lingkungan masyarakat) dan Adab adalah pupuknya. 

Ketika benih tumbuh di tanah yang bagus dan di pupuk dengan baik maka benih akan tumbuh subur menjadi pohon, berbuah dan bermanfaat bagi sekitar.
Tapi ketika benih tumbuh di tanah yang subur, namun di pupuk asal-asalan, maka benih akan tumbuh namun kurang maksimal. Bisa jadi tumbuh tapi tidak berbuah. Atau bahkan tumbuh tapi banyak hama yang menyerang. 

Ya begitulah, anak dengan fitrahnya perlu di pupuk dengan adab yang baik dari dalam rumah. Karena rumah adalah tempat terbaik menyemai fitrah anak.

"Aah namanya juga anak kecil!" ini perlu kita ubah dengan mindset baru  "Aah mumpung masih kecil, segera ajari anak dengan adab!"

Oleh : Dwi Laelasari

Referensi Bacaan:
Fitrah Based Education, Harry Santosa.
.
.
.
#KelasMenulisCeritaAnak #KMCA

1 komentar: